PANDEMI Covid-19 yang melanda hampir semua belahan dunia membawa dampak yang cukup serius bagi kehidupan masyarakat.
Semua orang tidak dapat menjalankan aktivitasnya secara normal sebagaimana sebelum terjadi pandemi. Seluruhnya dibatasi demi mencegah terjadinya mata rantai penularan.
Sehingga, diberlakukanlah kebijakan bekerja, belajar dan beribadah di rumah, karena berkerumunnya banyak orang diyakini bisa menjadi penyebab terjadinya mata rantai penularan.
Wakil Sekjen Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Sholahudin Al-Aiyub mengatakan, kebijakan tersebut menjadikan roda ekonomi tidak dapat berputar sebagaimana mestinya. Pembatasan aktivitas di luar rumah membawa dampak langsung pada perputaran ekonomi. Masyarakat menahan diri untuk melakukan belanja kecuali hanya yang diperlukan.
"Hal itu berpengaruh signifikan pada penurunan permintaan (demand) barang dan jasa dari masyarakat, yang kemudian menyebabkan dunia usaha mengurangi pasokannya (supply) barang dan jasa. Kondisi ini jika berlanjut secara berkepanjangan akan berdampak besar pada eksistensi dunia usaha, karena akan semakin berat menanggung biaya produksi, terutama biaya tenaga kerja," tuturnya, dikutip dari website resmi MUI, Senin (3/8/2020).
Sehingga kata dia, kebijakan merumahkan sebagian karyawan (dan bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja) menjadi pilihan umum bagi mereka untuk bisa terus bertahan. Akibatnya semakin banyak pengangguran yang membuat tingkat kemiskinan menjadi lebih tinggi.
Dengan begitu, pandemi Covid-19 ini membawa dampak terjadinya kesulitan ekonomi yang luar biasa dan terjadi dalam skala massif. Hal itu terjadi boleh jadi merupakan ujian dari Allah kepada kita semua untuk menguji keimanan dan kesabaran kita. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)
Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi raji'un”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk,” (QS. Al-Baqarah: 155-157).
Baca juga: Kasus Covid-19 di Saudi Terus Turun, Tidak Ada Jamaah Haji Terinfeksi
Namun demikian, apapun kehendak Allah Ta'ala lanjut Sholahuddin, dari terjadinya pandemi ini hendaknya kita terima dengan ikhlas, ridha, pasrah serta tetap berbaik sangka kepada Allah, sambil terus berdoa dan memohon agar musibah ini tidak ditambah lagi, karena kita takut tidak sabar dan tidak kuasa untuk menerimanya.
"Kita sadar bahwa kita banyak berbuat dosa dan kesalahan, akan tetapi kita mohon jangan sampai Allah Ta'ala menguji kita dengan cobaan yang tak terpikulkan oleh kita. Hari raya ini dikatakan dengan Idul Adha karena pada hari raya ini dan tiga hari sesudahnya, atau disebut dengan hari Tasyrik, kita semua diserukan untuk memotong hewan kurban yang dagingnya dibagikan kepada fakir miskin," paparnya.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala: فصل لربك وانحر “Sembahyanglah kamu kepada Rabb-mu dan berqurban-lah,” (QS. Al-Kautsar: 2).
Menurut madzhab Syafi’iyah, memotong hewan kurban hukumnya sunah muakkadah, artinya sunah yang dikuatkan. Setidaknya ada dua hal yang dapat dipetik hikmahnya dari syariat berkurban yaitu:
1. Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi Ismail ‘alaihissalam yang penuh kesabaran menerima cobaan dan ujian yang ditimpakan kepada mereka.
2. Menumbuhkan sifat kedermawanan dan saling membantu (ta’awun) di antara masyarakat.
"Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diuji oleh Allah dengan perintah mengurbankan anaknya yang sangat dicintainya. Nabi Ismail ‘alaihissalam diuji oleh Allah SWT dengan kepatuhannya kepada orangtuanya. Mereka berdua dengan kesabaran dan kepasrahan yang tinggi menerima dengan ikhlas ujian tersebut," tuturnya.
Allah Ta'ala berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar," (QS. Ash-Shaffat: 102).
"Sungguh sangat mengagumkan seorang ayah yang sanggup mengorbankan putranya padahal putranya itu hanya satu-satunya dan demikian lama ditunggu kelahirannya. Lebih mengagumkan lagi kesediaan Ismail 'alaihissalam untuk dijadikan kurban, padahal itu berarti memberikan nyawanya, sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Mereka berdua lulus dari ujian tersebut. Karenanya Allah menganugerahi kepada mereka berdua karunia yang sangat besar," kata Kiai Sholahudin.
Penyembelihan hewan kurban jangan hanya dilihat semata-mata dari aspek penyembelihannya saja, melainkan juga harus dilihat bahwa penyembelihan itu merupakan simbol perilaku kedermawanan dan solidaritas sosial di antara kita.
Follow Berita Okezone di Google News