Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab ‘Sirrul Asrar’ membagi manusia menjadi dua kelompok, manusia jasmani dan manusia rohani.
Manusia jasmani adalah manusia awam dan kebanyakan, sedangkan manusia rohani adalah manusia khusus yang akan mendatangi alam ‘qurbah’ (membangun kedekatan dengan Tuhan). Hemat saya, setiap manusia akan selalu berada dalam proses ‘menjadi (becoming)’ manusia rohani. Harus dicari tahu bagaimana jalan ‘menjadinya’.
Barangkali salah satu jalan menjadi manusia rohani itu dengan perantara Ramadhan. Bulan Ramadhan membawa keberkahan di dalamnya dengan adanya sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan (lailatul qadar).
Banyaknya keberkahan lailatul qadar terurai dalam Alquran surat ke-97 yang bernama surat al-Qadar. Kemuliaan malam qadar tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia. Hal itu tertulis dalam ayat kedua dari surat al-Qadar.
(Baca Juga : 3 Makna Lebih Baik dari Seribu Bulan Malam Lailatul Qadar)
Ada ahli tafsir yang menjelaskan bahwa setiap peristiwa yang digambarkan dengan kalimat, ‘wa maa adraka’ menunjukkan ketidakmampuan pengetahuan manusia. Manusia hanya bisa menerka tentang kehebatan dan keagungan malam qadar, tetapi kemuliaan, kehebatan, dan keagungannya tidak diketahui secara rinci.
Abdullah Yusuf Ali di dalam tafsirnya ‘The Meaning of the Holy Qur’an’ menjelaskan bahwa ungkapan seribu bulan dalam uraian lailatul qadar tidak perlu diinterpretasikan secara harfiah. Menurut Yusuf Ali, ungkapan itu merupakan ilustrasi dan metafora untuk waktu yang tidak terbatas. Artinya kemuliaan malam lailatul qadar bukanlah perhitungan matematis. Setiap muslim yang berpuasa (atau mungkin juga yang tidak berpuasa?) mendambakan pertemuan dengan malam ini.
(Baca Juga : Pesan Damai Malam Lailatul Qadar)
Kebanyakan ulama dan para ahli menggambarkan malam qadar sebagai peristiwa mistik. Sewaktu saya kecil, jamak sekali cerita tentang bagaimana malam qadar itu terjadi. Pohon-pohon bersujud kepada Allah, air membeku, dan cerita-cerita menakjubkan lainnya. Sampai sekarang, saya belum pernah bertemu dengan realitas malam yang diilustrasikan tersebut. Sampai pada titik reflektif, barangkali memang itu semua adalah rahasia Allah yang agung. Tidak semua orang yang mampu membuka tabir rahasia tersebut.
Nabi Muhammad tidak memberikan petunjuk yang rinci tentang kapan tepatnya malam qadar itu. Walaupun ada petunjuk-petunjuk yang diisyaratkan Nabi bagaimana cara mencari malam qadar. Misalnya, malam qadar terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir ramadan. Pengetahuan kita tentu sangat terbatas dan rahasia malam qadar belum bisa kita tembus karena kita baru jadi manusia kebanyakan, manusia jasmani.
(Baca Juga : Doa Rasulullah di Malam Lailatul Qadar)
Transformasi dari manusia jasmani menjadi manusia rohani tidak bisa hanya berharap dengan cara berburu malam lailatul qadar. Perburuan yang dilakukan terkadang hanya bersifat ritus-ritus peribadatan yang hampa dari cahaya Illahi. Sungguh berat untuk sampai pada tahapan bermukasyafah dengan Tuhan. Hanya orang tertentu dan dengan cara tertentu bermukasyafah dengan Tuhan itu terjadi.
Follow Berita Okezone di Google News