Dia mengatakan, ini merupakan transaksi jual beli secara elektronik yang harus tunduk pada aturan Menteri Perdagangan dan standar lainnya soal perlindungan merchant atau penjual.
Misalnya prosedur pencairan dana dan proses pengaduan apabila dilakukan tindakan diskriminatif oleh pihak platform social commerce berupa shadowban.
"Aturan main harus adil, tidak ada bedanya berjualan live di media sosial shop dengan platform ecommerce lainnya," ujarnya.
Selain itu, lanjut Bhima ada loopholes kebijakan seiring dengan naiknya tren belanja di social commerce. Di pasar Asia Tenggara sendiri. GMV (gross merchandise value) TikTok shop menembus USD4,4 miliar di 2022.
“Hal ini berakibat kerugian di sisi seller karena banyak pelaku UMKM membutuhkan pencairan hasil penjualan secara cepat untuk digunakan membeli stok untuk dijual kembali," ujarnya.
Keluhan para pelaku UMKM karena media sosial ini tidak pernah memberikan pemberitahuan dan penjelasan sebab pada user yang terkena Shadowban.
Kemudian soal algoritma yang dinilai mulai mengutamakan produk-produk asal China yang merupakan negara asal media sosial tersebut. . Dengan algoritma ini netizen mengeluhkan mulai sering melihat produk-produk asing ditimeline ketimbang produk UMKM.
Follow Berita Okezone di Google News
(ZWD)