INDUSTRI fesyen Indonesia memang memiliki keberagamaan yang sangat banyak. Mulai dari kain batik, songket hingga tenun dari berbagai daerah dengan motif yang berbeda-beda.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Prof. Dr. Lilawati Kurnia, S.S., M.A. mengatakan kain tradisional Indonesia memiliki potensi nilai ekonomi yang sama besar dengan pariwisata jika serius ditangani.
Mempromosikan kain nusantara juga bisa sejalan dengan pengembangan pariwisata daerah, asal yang dikenalkan tidak cuma jenis kain yang sudah terkenal saja.
"Harus serius menangani dan panggil ahli-ahlinya yang benar-benar ahli. Yang dikembangkan juga maunya yang belum dikenal dong," ujar Prof. Lilawati seperti dilansir dari Antara.
Prof. Lilawati memberi contoh, tenun ikat Dayak Iban adalah salah satu kain warisan nusantara yang mulai langka. Selain sedikitnya pengrajin generasi baru, bahan untuk pewarna kainnya juga sulit didapat karena merupakan pewarna alam.
Menurut Prof. Lilawati, kain tenun ikat lebih banyak dipasarkan di wilayah Malaysia dan lebih dikenal di sana. Kolektor-kolektor dunia juga banyak yang berburu kain tersebut dan dibeli dengan harga yang tinggi atau harga untuk benda koleksi.
Bagi Prof. Lilawati, kain-kain dengan motif kuno dan sarat dengan daerah suatu tempat, perlu untuk dikembangkan secara serius. Sebab, hal inilah yang mampu meningkatkan nilai ekonomi dari pengrajin.
"Jadi ada dua hal yang paralel untuk dimajukan, karena motif-motif tradisional, motif-motif kumo harus juga dilestarikan. Jadi misalnya untuk menarik konsumen muda, tapi untuk kolektor-kolektor dunia itu ya carinya yang tradisional, yang kuno," kata Prof. Lilawati.
Follow Berita Okezone di Google News
Edukasi terhadap konsumen
Hampir seluruh masyarakat Indonesia, setidaknya memiliki satu busana yang bahannya terbuat dari kain tradisional. Sebagian besar juga sudah bisa membedakan antara kain batik, tenun ataupun songket, akan tetapi, tidak sedikit yang belum mengerti mana kain asli dan hasil print.
Kain dengan motif batik, tenun dan songket yang dicetak, biasanya dijual dengan harga murah. Sedangkan kain yang dibuat oleh pengrajin, lebih mahal karena proses pengerjaannya memiliki waktu yang panjang.
"Yang penting itu edukasi terhadap konsumen bahwa barang hasil kerajinan itu memang mahal. Kalau hasil kriya itu kan lama pembuatannya dan rumit harus ada harganya, kalau konsumen umum itu maunya murah saja, jadi pakai tenun aspal (asli palsu) atau kain meteran," ujar Prof. Lilawati.
Edukasi pada masyarakat mengenai kain tradisional disebut harus dilakukan dengan serius. Sebab banyak pengrajin yang terancam bangkrut lantaran tidak mampu bertahan.
Prof. Lilawati berpendapat, edukasi mengenai kain tradisional dan pengembangannya untuk industri fesyen harus dilakukan dengan berkolarasi bersama berbagai bidang seperti pariwisata, industri dan pendidikan. "Para penenun itu kan rata-rata sudah tua-tua, harusnya masuk ke kurikulum sekolah di daerah-daerah penenun, kalau tidak bakalan habis lama-lama," kata Prof. Lilawati.
Desain rasa global
Sementara itu, National Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) sekaligus pelaku industri fesyen tanah air, Ali Charisma mengatakan untuk menjangkau pasar internasional dengan kain tradisionalnya, maka desain busana yang ditawarkan harus selera global atau yang disukai masyarakat dunia bukan hanya Indonesia.
Ali menilai, saat ini kebanyakan desain busana yang menggunakan kain tradisional hanya untuk Tanah Air saja. Padahal desainer bisa mengikuti tren warna dan gaya busana luar negeri namun menggunakan motif-motif tradisional.
"Segera menggarap kain tradisional dengan taste yang lebih global. Itu tentunya bentukannya harus lebih sangat sederhana, anggap aja kayak baju yang ada di mall-mall Indonesia, brand-brand luar negeri itu di mana aja bisa survive karena taste-nya global jadi ada semuanya," ujar Ali.
Ali mengatakan pasar kain tradisional Indonesia di dunia sangatlah luas dan banyak yang mencari. Keunikan motif dari tiap daerah pun bisa dieksplorasi lebih jauh untuk mendatang nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Ali juga mengatakan untuk menyasar pasar menengah yang daya belinya cukup besar dan global, menggunakan motif yang terinspirasi dari budaya lokal sah saja dibanding dengan mengikuti tren dunia namun tidak ada unsur ke Indonesia-annya.
"Ini bukan kita tidak mendukung apa para UKM. Untuk UKM yang menggunakan tenun dan batik tulis itu yang limited. Untuk secara ekonomis ini akan berat untuk dikejar menuju global, harga juga, konsistensi juga," kata Ali.
"Jadi menurut saya beda jika tujuannya untuk melestarikan budaya dengan meningkatkan ekonomi," lanjutnya.
Kebanyakan kain tradisional biasanya memiliki motif yang sudah diwariskan oleh nenek moyang. Tidak ada yang salah dengan hal ini, namun untuk merangkul anak muda atau konsumen yang lebih luas, dibutuhkan inovasi baru dari segi desain motif dan tetap mempertahankan motif kuno untuk konsumen kelas atas atau para kolektor.
Motif kuno selamanya akan tetap dicari oleh konsumen kelas atas dan kolektor, namun inovasi baru akan membuat kain tradisional lebih segar dengan warna yang berbeda.
Diperlukan wadah tertentu dari pemerintah atau pihak lainnya untuk menyediakan desainer tekstil atau desainer tradisional untuk melatih para pengrajin agar nantinya mampu menciptakan motif yang seirama dengan tren global. "Jadi produk itu bisa dinikmati dan kekinian, jadi tidak ketinggalan jaman," kata Ali.
Ali berharap akan ada anak muda yang memiliki passion untuk membuat desain motif baru yang bisa didistribusikan kepada pengrajin sehingga menghasilkan nilai jual baru.
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Follow