Dia mengutarakan, target energi terbarukan memiliki dua dimensi. Di mana, target 23% pada tahun 2025 merupakan bauran energi dari keseluruhan energi dan kapasitas yang terpasang baik untuk pembangkit listrik dan bahan bakar cair.
Sedangkan, kecepatan energi terbarukan saat ini rata-rata pertumbuhannya hanya 400 Megawatt (MW) per tahun, sementara untuk mencapai kapasitas pembangkit energi terbarukan pada 2025 dibutuhkan 24-25 Gigawatt (GW). Artinya, harus bertambah 14-15 GW atau 3,5-5 GW per tahun. "Tentunya hal ini tidak mudah. Walaupun demikian, sebaiknya pemerintah upayakan agar target ini tercapai," kata Fabby.
lebih jahu, pencapaian target tersebut membutuhkan investasi asing. Dia mencatat, bila pemerintah ingin menambahkan energi terbarukan dikisaran 3,5-5 GW per tahun, maka kebutuhan investasi dalam negeri harus mencapai 6 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau dengan Rp87 triliun per tahun.
Sementara, pendanaan investasi itu dinilai sulit ditanggung PT PLN (Persero) secara mandiri. karenanya, dibutuhkan 85% pendanaan yang berasal dari investor asing. "Perkiraan saya 80-85% harus berasal dari swasta asing dan domestik," ujarnya.
Fabby juga mengatakan, dalam pelaksanaan Perpres EBT pemerintah harus akomodasi kepentingan pelaku usaha dan PLN. Misalnya dalam segi harga, harus setara dengan risiko dan memberikan tingkat keuntungan yang menarik dan wajar bagi pelaku usaha.
Bila kebijakan itu dinilai jelas, terukur, transparan, serta didukung oleh regulasi pendukung yang memadai, dengan demikian beleid tersebut mampu menarik investasi swasta.
"Tarif harus menarik, insentif menarik dan mampu menurunkan risiko. Belum bisa dibilang apakah Perpres yang akan segera keluar telah memenuhi unsur-unsur tersebut. Saya sih berharap Perpres ini cukup menarik, terutama dengan adanya feed in tariff untuk pembangkit ET skala kecil," ujarnya.
Follow Berita Okezone di Google News
(kmj)