Seperti diketahui, selama dua tahun terakhir wacana revisi PP 109/2012 didorong oleh Kementerian Kesehatan untuk melegalkan perluasan gambar peringatan kesehatan dari 40% menjadi 90% dan pelarangan total promosi dan iklan di berbagai media termasuk tempat penjualan.
Dorongan ini dilakukan dengan dalih adanya peningkatan prevalensi perokok anak. PP 109/2012 padahal sudah mengatur pembatasan iklan produk rokok pada media televisi dan elektronik bahkan mengatur detil media luar ruang hingga larangan menjual rokok kepada anak dibawah umur sebagai bentuk pengendalian produk rokok dan pembatasan komunikasi produsen dengan konsumen.
Namun hingga saat ini tidak ada gebrakan dari Kemenkes untuk melakukan edukasi masyarakat luas tentang bahaya rokok sekaligus mencegah akses penjualan bagi anak-anak secara proaktif dengan bermitra dengan pihak pabrikan atau pun pemangku kepentingan IHT, padahal pihak- pihak tersebut yang menjalankan berbagai bentuk pengendalian.
Terlebih isu perokok pemula merupakan persoalan pelik yang membutuhkan sinergi kebijakan dan kontribusi seluruh pihak dan pemangku kepentingan bukan hanya pengendalian di sisi hilir. Ditambah lagi wacana perluasan gambar peringatan kesehatan tersebut berpotensi meningkatkan rokok Ilegal yang beredar di pasaran. Hal tersebut tentunya malah akan merugikan negara.
Di kesempatan yang sama Analis Kebijakan Madya Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai (Kementerian Keuangan) Hary Kustowo menjelaskan bahwa meskipun Indonesia tidak ratifikasi FCTC, ketentuan PP 109 beberapa bahkan lebih ketat.
Hary mengatakan aspek pengendalian selalu jadi pertimbangan dalam kebijakan cukai tembakau. Setelah selesai pengumuman cukai tahun lalu, pembahasan PP 109 dilanjutkan.
“Itu tetap dibahas. Tapi kami keberatan peringatan kesehatan jadi 90%. Kami butuh media untuk pengawasan. Bayangkan kalau nanti semua rokok gambarnya sama itu bagaimana membedakan yang legal dan ilegal di lapangan,” ungkapnya.
Follow Berita Okezone di Google News
(dni)