Dia pun mengutip pandangan Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, bahwa penerimaan atas Pidato 1 Juni 1945 oleh keseluruhan anggota BPUPK pada waktu itu sangat mudah dimengerti.
“Hal ini bukan saja karena intisari dari substansi yang dirumuskan Bung Karno memiliki akar yang kuat dalam sejarah panjang Indonesia, tapi nilai-nilai yang melekat di dalamnya melewati sekat-sekat subjektivitas dari sebuah peradaban dan waktu,” jelasnya.
Basarah lalu mengungkapkan kisah Bung Karno saat berpidato di depan sidang PBB pada 30 September 1960, yang menyangkal pendapat Bertrand Russel, seorang filsuf Inggris, yang membagi dunia hanya ke dalam dua poros ideologi, yaitu liberalisme/kapitalisme dan komunisme.
Bung Karno mengatakan, Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu. Bung Karno dengan lantang mengucapkan, “Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok. Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.”
Dari penegasan Bung Karno di forum dunia tersebut, kata Basarah, sangat jelas perbedaan Pancasila dengan ideologi liberalisme/kapitalisme dan komunisme. Pancasila adalah suatu pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi.
“Pancasila lebih sesuai dan cocok bagi bangsa Indonesia dari liberalisme/kapitalisme yang ekonominya dikuasai kaum pemilik modal karena Pancasila punya sila Keadilan Sosial. Dan saat ini juga dapat kita tegaskan kembali bahwa Pancasila juga lebih cocok dan sesuai bagi bangsa Indonesia dari paham negara khilafah ala ISIS yang tidak mengakui nasionalisme dan teritorial suatu negara bangsa karena dalam Pancasila memiliki sila persatuan Indonesia,” tutup Basarah.
Follow Berita Okezone di Google News
(sal)