PEMERINTAH menargetkan menggelar sebanyak mungkin tes cepat atau rapid test untuk mencegah semakin meluasnya virus Corona COVID-19. Pemerintah pun akan menyiapkan sebanyak 1 juta alat rapid test atau tes cepat COVID-19.
Mereka yang disarankan melakukan rapid test adalah kategori Orang Tanpa Gejala (OTG) dan Orang Dalam Pengawasan (ODP). Namun jika Anda merasakan gejala COVID-19, tes ini bisa dilakukan.
Juri Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan rapid test ini berbasis seurologi, bagi orang yang nantinya dinyatakan positif, mereka tetap harus menjalani tes tambahan menggunakan Polimerase Chain Reaction (PCR).
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan, pada Minggu 19/4/2020 Indonesia telah mendatangkan bahan tes PCR untuk pendeteksian virus corona dari Korea Selatan.
(Baca Juga: Lakukan 6 Hal Ini jika Anda Mengalami Gejala Mirip Virus Corona)
Menurutnya, Indonesia membutuhkan bahan untuk melakukan tes PCR bagi deteksi covid-19 agar laboratorium bisa segera bekerja memeriksa warga. "Kita bersyukur dalam waktu kurang dari 24 jam kita bisa mendapatkan 50.000 tes PCR hari ini,” ujar Doni kemarin.
Presiden Joko Widodo pun berharap agar setiap hari setidaknya bisa dilakukan 10.000 pemeriksaan. Selain itu, pemerintah sudah menetapkan 19 laboratorium untuk pendeteksian Covid-19 di seluruh Indonesia. Hanya saja, semua laboratorium tersebut membutuhkan reagent PCR dan reagent ekstrasi RNA agar bisa melakukan pemeriksaan kepada warga yang diduga terpapar covid-19.
Doni pun berharap dalam sepekan ke depan akan bisa didapatkan sekitar 495.000 bahan untuk pemeriksaan covid-19. Dengan jumlah itu maka Indonesia akan bisa memetakan lebih tepat jumlah warga yang terpapar COVID-19 dan di mana mereka berada. Masalahnya, pemeriksaan PCR membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, International Atomic Energy Agency (IAEA) pun tengah mengembangkan PCR secara real-time. IAEA bersama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), menyatakan salah satu metode laboratorium yang paling akurat untuk mendeteksi, melacak, dan mempelajari virus corona adalah PCR secara realtime (RT-PCR).
Follow Berita Okezone di Google News
Berbeda dengan rapid test yang menguji imunitas dalam darah, dengan PCR sampel dikumpulkan dari bagian tubuh tempat virus corona berkumpul, seperti hidung atau tenggorokan seseorang. Teknik ini dikenal juga dengan Swab, yang kemudian akan dibawa ke laboratorium.
Di laboratorium, sampel akan diuji dengan beberapa larutan kimia yang menghilangkan zat, seperti protein dan lemak, dan hanya mengekstrak RNA yang ada dalam sampel. RNA yang diekstraksi ini adalah campuran dari materi genetik seseorang dan, sehingga jika memang ada RNA coronavirus, maka dapat terdeteksi.
Lantas apa hubungannya dengan teknologi nuklir? Realtime PCR adalah metode yang diturunkan dari nuklir untuk mendeteksi keberadaan materi genetik spesifik dari patogen apapun, termasuk virus. Virus adalah paket mikroskopis materi genetik yang dikelilingi oleh amplop molekuler. Bahan genetik dapat berupa DNA atau RNA.
DNA adalah molekul dua untai yang ditemukan di semua organisme, seperti hewan, tumbuhan, dan virus, dan ia memegang kode genetik, atau cetak biru, untuk bagaimana organisme ini dibuat dan dikembangkan.
(Baca Juga : Pakaian Bisa Jadi Sumber Penularan Virus Corona COVID-19?)
Sementara RNA adalah molekul satu untai yang menyalin, menyalin, dan mentransmisikan bagian dari kode genetik ke protein sehingga mereka dapat mensintesis, dan menjalankan fungsi yang membuat organisme tetap hidup dan berkembang.
Nah, beberapa virus seperti coronavirus (SARS-Cov2) hanya mengandung RNA, yang berarti mereka mengandalkan infiltrasi sel sehat untuk berkembang biak dan bertahan hidup. Begitu berada di dalam sel, virus menggunakan kode genetiknya sendiri, dalam kasus coronavirus adalah RNA, untuk mengambil kendali dan 'memprogram ulang' sel sehingga mereka menjadi pabrik pembuat virus.
Agar virus seperti coronavirus terdeteksi di awal tubuh menggunakan RT-PCR waktu nyata, para ilmuwan perlu mengubah RNA menjadi DNA. Ini adalah proses yang disebut 'transkripsi balik'. Mereka melakukan ini karena hanya DNA, yang merupakan bagian penting dari proses realtime PCR.
Awalnya, metode ini menggunakan penanda isotop radioaktif untuk mendeteksi bahan genetik yang ditargetkan, tetapi pemurnian berikutnya telah menyebabkan penggantian pelabelan isotop dengan penanda khusus, paling sering pewarna fluoresen. Dengan teknik ini, para ilmuwan dapat melihat hasilnya hampir segera saat proses masih berlangsung.
Berbeda dengan PCR konvensional, yang hanya memberikan hasil pada akhirnya. Realtime PCR sekarang merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi coronavirus, tapi banyak negara masih membutuhkan dukungan dalam pengaturan dan penggunaan teknik ini.
Pasalnya, diperlukan siklus berulang berulang untuk terus menyalin bagian target DNA virus. Setiap siklus menggandakan jumlah sebelumnya, dua salinan menjadi empat, empat salinan menjadi delapan, dan seterusnya.
(Baca Juga: WHO Larang Pemakaian Ibuprofen untuk Atasi Gejala Corona)
Pengaturan PCR real-time standar biasanya melewati 35 siklus, yang berarti bahwa pada akhir proses, sekira 35 miliar salinan baru dari bagian DNA virus dibuat dari setiap untai virus yang ada dalam sampel.
Teknik PCR real-time sangat sensitif dan spesifik, dan dapat memberikan diagnosis yang dapat diandalkan dalam tiga jam, meskipun biasanya laboratorium rata-rata memakan waktu antara 6-8 jam.
Sayangnya, realtime PCR tidak dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit penyerta, karena virus hanya ada di dalam tubuh untuk jangka waktu tertentu. Metode lain diperlukan untuk mendeteksi, melacak dan mempelajari penyakit masa lalu, terutama yang mungkin telah berkembang dan menyebar tanpa gejala.
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Follow