Dunia mode menawarkan keindahan secara visual, namun jika ditarik ke proses penciptaan, industri ini jadi penyumbang emisi karbon terbesar setelah industri migas. Fakta yang tak banyak orang tahu sepertinya.
Data Sustain Your Style 2020 menyebutkan bahwa emisi gas karbon yang dihasilkan dari industri fashion empat kali lipat lebih banyak dibandingkan produksi pakaian 10 tahun lalu. Bagaimana dunia fashion merusak lingkungan?
Dijelaskan dalam Webinar 'Fesyen Berkelanjutan di Masa Pandemi', industri fashion itu menghasilkan limbah dalam jumlah besar, mencemari air, dan juga jutaan pohon ditebang tiap tahunnya.
Hal itu pun coba dijabarkan Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, industri fashion menghadapi tantangan lingkungan. Di sisi lain, industri ini terkait erat dengan ekonomi dan pendapatan masyarakat.
"Bila tak ditangani dengan bijak, akan menimbulkan kerentanan ekonomi khususnya bagi kaum perempuan yang menjadi tenaga kerja terbesar. Dibutuhkan kreativitas dan keberanian dari pelaku bisnis untuk mengubah paradigma dan pendekatan agar dampak terhadap lingkungan bisa dikurangi," papar Woro dalam keterangan resminya, belum lama ini.
Sementara itu, terkait dengan dunia fashion di masa pandemi Covid-19, Pemerhati Fashion dan Penulis Budaya, Tenik Hartono, menyebutkan bahwa pandemi ini bisa menjadi momentum untuk memulai sustainable fashion atau fesyen berkelanjutan.
"Saat ini pemenuhan kebutuhan pakaian untuk masyarakat menjadi back to basic lebih ke fungsional, daripada membeli koleksi, sehingga sustainable fashion menjadi valid," ungkapnya.
Kemudian, bagaimana memulai sustainable fashion yang digadang-gadang jadi jalan keluar masalah industri fashion merusak lingkungan?
Disampaikan Valentina Estiningsih, seorang pemerhati fashion, ada banyak bahan ramah lingkungan yang bisa dimanfaatkan untuk fashion, salah satunya serat kepompong ulat sutera dari tanaman singkong (Samia Cynthia Ricini).
"Budidaya ulat sutera ini telah diterapkan di Semarang. Selain berkelanjutan, pengembangbiakannya juga mudah dan pada akhirnya bisa menjadi penghasilan tambahan untuk measyarakat pedesaan. Tentu, ini juga membantu pengusaha UMKM atau pengusaha industri rumahan," terang dia.
Baca Juga : Yuri Gagal Bikin Tamago, Chef Renatta Moeloek: Lebih Baik Kamu Diam..
Perlu diketahui, pemanfaatan limbah atau material sisa yang diolah menjadi produk fashion telah berhasil dilakukan para penenun di Pringga Selatan, Lombok Timur, dan Sukarrara, Lombok tengah, NTT. Mereka memanfaatkan benang sisa tenun yang disambung menjadi sehelai yang kemudian dibuat menjadi Rerempeq (campur-campur).
Diterangkan Zicko Haiziah Gazali dari Nine Penenun atau Gema Alam yang melakukan pendampingan terhadap para penenun, awalnya Rerempeq ini dianggap tidak memiliki nilai ekonomis, namun setelah membuka pasar lebih luas melalui jejaring salah satunya EMPU dan menyertakan story telling, Rerempeq kini memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.
"Keunikannya terletak pada limbah benang karena itu warna yang dihasilkan tidak akan sama satu sama lain," katanya.
Follow Berita Okezone di Google News