Terkadang kita pernah mendengar pertanyaan buat apa kita hidup? Bagi kalangan pesimistik kehidupan dianggap tidak bernilai. Kehidupan hanya sebuah fase tertentu yang tak harus dimaknai.
Leo Tolstoy melihat hidup sebagai ‘tipuan dungu’ (stupid fraud). Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa hidup itu hanyalah ‘candaan yang mengerikan’ (awful joke). Lalu bagaimana agama melihat fitrah kehidupan manusia?
Agama dalam bahasa kita seringkali dipersamakan dengan kata ‘diin’ dalam bahasa Alquran. Kata ini terdiri dari tiga huruf hijaiah, ‘daal’, ‘yaa’, dan ‘nuun’. Menurut Quraish Shihab, bagaimanapun cara kita membacanya, maknanya akan selalu menggambarkan hubungan antara dua pihak, yang satu lebih tinggi kedudukannya dari yang lain.
Dari tiga huruf ini juga terambil kata ‘dain’ yang berarti hutang, atau ‘diin’ yang berarti balasan dan kepatuhan. Secara umum bisa disimpulkan bahwa kata ‘diin’ mengacu pada hubungan antara manusia dengan Allah.
(Baca Juga : Putuskan Hijrah, Begini Gaya Hijab Artis-Artis Mualaf)
Kata ‘diin’ disandingkan dengan kata Islam. Islam hakikatnya bermakna kedamaian. Jadilah tafsir ‘diinul Islam’ itu sebagai pola yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan dengan hubungan itu tercipta kedamaian, keseimbagan, dan keselarasan.
Makanya, konsekuensi pengakuan sebagai muslim itu adalah mampu berdamai dengan diri sendiri dan menularkan kedamaian itu dimanapun dan dalam situasi apapun. Orang Islam tidak hanya membawa jargon kedamaian artifisial, tetapi kedamaian itu sendiri sudah inheren di dalam kepribadiannya, tanpa harus diucapkan.
Hubungan antara manusia dan Allah sudah terbina dari alam rahim. Hal tersebut dinukilkan dalam Alquran surat al-A’raf ayat 172. At-Thabari di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa manusia di dalam rahim mengambil ikrar kesetiaan untuk bertauhid kepada Allah. Bisa juga diartikan bahwa penggalan ayat ini merupakan bentuk hutang manusia kepada Tuhan yang akan ditagih di hari kiamat.
Di sisi lain, ayat ini memberikan kesan bahwa fitrah manusia adalah ber-Tuhan. Konsep ber-Tuhan itu digambarkan dengan prilaku bertauhid. Tauhid mengandung dua sifat, yaitu teoritis dan praksis. Ilmu tauhid merupakan landasan teoritis bagi aktivitas praksis. Dalam pemaknaan seperti ini, tuntutan tauhid tidak hanya terbatas pada soal hubungan manusia dengan Allah saja. Hubungan dengan Allah harus dimanifestasikan pada hubungan kepada sesama makhluk.
(Baca Juga : Mbah Moen Ungkap Perbedaan Istri dan Bidadari, Pria Jomblo Wajib Baca Ini)
Hassan Hanafi di dalam kitab ‘Minal ‘Aqidah ila Tsawrah’ menjelaskan bahwa tauhid merupakan kerja emosional yang mengandung penyatuan kekuatan dan kemampuan emosi masing-masing orang agar terbentuk persatuan diantara manusia. Manusia yang bertauhid merupakan manusia yang kuat dan tidak gampang terpecah, apalagi hanya soal-soal politik temporer.
Semangat tauhid adalah semangat persatuan. Penyatuan kesadaran bahwa semua makhluk berasal dari Allah, apapun suku, agama, serta bangsanya dan bagaimanapun keadaanya, kaya atau miskin. Pemahaman seperti ini akan memunculkan rasa tepa salira dalam bermasyarakat.
Follow Berita Okezone di Google News