WABAH virus corona (COVID-19) yang telah ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi global, telah menyebar hampir ke seluruh negara di dunia dan menjangkiti empat juta orang.
Selain menyebabkan kematian, virus ini ternyata merusak gangguan fisik serta berdampak pada kesehatan mental. Di beberapa tempat, bahkan ditemukan pasien yang cemas, putus asa, depresi sehingga mencoba untuk bunuh diri.
(Baca juga: Perlukah Ada Cluster Corona McD Sarinah? Ini Tanggapan IDI)
Seperti yang dialami Arif Wijaya, survivor virus corona. Arif Wijaya adalah satu dari ribuan pasien positif virus corona yang sembuh. Ia menceritakan bagaimana virus corona tidak hanya menyerang kesehatan fisik, namun juga pertahanan mentalnya.
"Saat itu saya berpikir orang yang kena COVID-19, itu seperti orang hidup tapi dianggap mati. Saya berarti akan mati. Saya shock, saya depresi. Badan saya drop, pikiran saya hancur," kata Arif Wijaya dikutip dari BBC News Indonesia, Senin (11/5/2020).
Serangan pertama terhadap pertahanan mental, dimulai ketika ia menjalani tes hingga dinyatakan positif virus corona.
(Baca juga: Pesona Amanda Manopo Foto di Depan Cermin, Mirip Barbie!)
"Pertama saat saya ditolak berkali-kali rumah sakit. Saya telat mungkin karena saya sudah tidak ada harapan untuk hidup. Pikiran saya berkecamuk, bagaimana jika saya kena COVID? Saya akan dikucilkan, diisolasi. Orang hidup dianggap mati,"ungkapnya.
Ditambah lagi, saat itu kondisi fisik Arif sangat lemah. Bahkan ia tidak makan dua hari yang menyebabkan tubuhnya lemas dan juga menderita sesak nafas.
(Baca juga: 5 Golongan Orang yang Boleh Membatalkan Puasa)
"Setelah dikasih tahu saya positif. Jantung saya deg-degan, perasaan dan pikiran saya hancur. Saya shock dan stres,"katanya.
Serangan virus corona terhadap pertahanan mental tidak berhenti di situ. Kedua adalah saat Arif menjalani masa isolasi dimana dia harus berjuang keras untuk hidup.
"Lalu saat diisolasi saya berpikir ini COVID berarti matilah karena saya lihat data yang ada saat itu tidak ada yang sembuh,” ucapnya.
"Fisik saya drop sekali, lemas. Sholat saja tayamum. Saya merasa sudah tidak kuat lagi. Kemarin saya berpikir ditolak karena tidak ada harapan hidup, sekarang saya sudah ditolong tapi sudah maksimal dan saya sudah tidak bisa bertahan," kata Arif.
Namun, di tengah serangan virus corona terhadap kesehatan fisik dan mental, Arif mencoba terus bertahan.
Menurutnya, terdapat dua kunci yang menjadi penyemangatnya untuk dapat terus hidup, yaitu berdoa dan berkomunikasi dengan keluarga. Apalagi saat itu, sudah ada informasi bahwa pasien pertama dan kedua yang menderita COVID-19 telah sembuh
Usai tiga hari melewati masa kritis, kondisi Arif membaik. "Covid tidak membunuh saya, ini hanya ujian. Berdoa dan keluarga itu kunci membangkitkan dan menyemangati saya," katanya.
Di tempat terpisah, Pandu Adji, seorang tenaga medis Rumah Sakit Darurat COVID-19, Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta menyebut ada pasien yang depresi lalu mencoba lompat bunuh diri karena tertekan. Hal itu disebabkan karena lemahnya pertahanan mental pasien. Kesehatan mental sangat mempengaruhi pembentukan imun tubuh dalam melawan virus corona.
"Ada yang mau loncat jendela saking depresinya. Untuk tim perawat melihat dan menyelamatkan. Lalu ada yang mau mengigit perawat,” ujar Pandu.
“"Lalu ada yang stres teriak-teriak lalu mau lompat masuk ke apotek saking depresinya," sambungnya.
Pandu menambahkan, ada juga pasien yang memeluk dan berniat menyobek alat perlindungan diri (APD) tenaga kesehatan. Oleh karena itu, Rumah Sakit Wisma Atlet menyediakan tenaga kesehatan kejiwaan yang bertugas untuk menangani pasien COVID-19.
"Psikolog berbicara melalui pengeras suara di tiap lantai, memberi wejangan melalui pengeras suara untuk menyejukan hati mereka. Kadang ada yang memerlukan bimbingan ekstra, baru psikolog datang ke kamar. Tapi untuk efisiensi dan takutnya tidak menyeluruh mereka visit-nya, makanya gunakan pengeras suara itu," kata Pandu.
Tenaga kesehatan Wisma Atlet lainnya yang menangani pasien di high care unit (HCU), Kamal Putra Pratama menyebut, terdapat satu pasien yang dirawat paling lama, sampai satu bulan di HCU dan menunjukan gejala harga diri rendah atau HDR.
"Jadi dia merasa harga diri dia sudah tidak ada dan menarik diri karena penyakit ini, harga diri dia sebagai manusia, ditambah lagi ketika dia pulang ke rumahnya divonis, cibiran dari masyarakat sekitar rumah, padahal belum tentu ada cibiran," kata Putra.
Dia juga menambahkan, ada pasien warga negara asing yang juga mengalami depresi hingga menunjukan gejala halusinasi dengar.
"Jadi dia mendengar suara-suara apa dan minta untuk dipisahkan. Stressor-nya sudah minggu ketiga di sini ditambah kendala bahasa. Bahasa Inggris dan Indonesia tidak baik. Di situ kami lakukan anamnesa, dan konsultasikan dengan dokter kesehatan jiwa. Tim kesehatan sangat reaktif dan bekerja keras untuk menangani semua pasien," katanya.
Dokter spesialis psikiatri, Danardi Sosrosumihardjo mengatakan seseorang berpikir untuk bunuh diri karena menanggung beban berat yang melebihi kemampuan pertahanan mentalnya.
"Seorang individu yang daya tahannya rapuh saat stres, di luar kekuatannya maka akan jatuh depresi. Yang depresi berat berpotensi memunculkan rasa ingin bunuh diri," katanya.
Danardi menambahkan informasi tentang virus corona bahwa jumlah penularan dan meninggal dunia semakin bertambah merupakan stressor atau penyebab stress. Jika tidak ditangani maka akan menimbulkan ketidaknyamanan, rasa cemas, paranoid atau curiga. "Jika tidak tertangani baik bisa jadi depresi," katanya.
Kekuatan kesehatan mental seseorang sangat relatif, kata Danardi. Ia mencontohkan ada seseorang mengalami amputasi dan bisa menerima penyakit itu maka depresi tidak akan terjadi.
"Namun sangat mungkin seorang foto model punya satu jerawat di muka dan tidak menganggu nyawa tapi merasa depresi. Depresi berhubungan dengan daya tahan mental," tegasnya.
Banyaknya pasien yang mengalami depresi akibat COVID-19, membuat pemerintah menyediakan layanan psikologi untuk Sehat Jiwa atau Sejiwa lewat layanan telepon 119 ext. 8.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah, berharap, masyarakat yang mengalami masalah kejiwaan akibat pandemi ini, bisa menghubungi layanan tersebut.
"Semoga layanan ini bisa membuat masyarakat terbebaskan dari masalah psikososial dan kesehatan jiwa yang bisa muncul di dalam masyarakat," kata Fidiansjah.
"Contohnya dengan melakukan teknik relaksasi nafas dalam atau progressive muscle relaxation. Kemudian juga mindfulness (meditation). Keterampilan mengatasi emosi bisa digunakan saat ini untuk mengatasi perasaan tidak nyaman," pungkasnya.
Follow Berita Okezone di Google News