JAKARTA - Pandemi Covid-19 yang semakin meluas ke seluruh dunia berdampak pada meningkatnya risiko resesi perekonomian global pada 2020, sementara pengaruhnya terhadap kepanikan pasar keuangan dunia berangsur-angsur mulai menurun.
Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Perrry Warjiyo, risiko resesi ekonomi global pada 2020 dipengaruhi oleh penurunan permintaan serta terganggunya proses produksi antara lain akibat terbatasnya mobilitas manusia sejalan dengan kebijakan mengurangi risiko penyebaran Covid-19. Sejalan dengan risiko ini, pertumbuhan ekonomi negara maju seperti Amerika Serikat dan banyak negara di kawasan Eropa diprakirakan mengalami kontraksi pada tahun 2020, meskipun berbagai kebijakan ultra-akomodatif dari kebijakan fiskal dan moneter telah ditempuh.
Berikut ini 6 indikator makro ekonomi yang dirangkum dari hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (DGBI), seperti dirangkum okezone, Selasa (14/4/2020).
1. Update Resesi Global
Prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang diprakirakan juga menurun. Risiko resesi ekonomi dunia terutama terjadi pada Triwulan-II dan Triwulan-III 2020, sesuai dengan pola pandemi Covid-19, dan diperkirakan akan kembali membaik mulai Triwulan-IV 2020. Pada tahun 2021, pertumbuhan ekonomi dunia akan meningkat tinggi didorong dampak positif kebijakan yang ditempuh di banyak negara, selain karena faktor base effect. Sementara itu, kepanikan pasar keuangan dunia yang sempat meningkat tinggi pada Maret 2020, mulai berkurang pada April 2020 didukung sentimen positif atas berbagai respons kebijakan yang ditempuh di banyak negara. Risiko pasar keuangan dunia yang berkurang seperti tercermin pada penurunan volatility index (VIX) dari 85,4 pada 18 Maret 2020 menjadi 41,2 pada 14 April 2020.
Baca Juga : Sri Mulyani: Pertumbuhan Ekonomi Tahun Depan 4,5%-5,5%
Penurunan ekonomi global dan penyebaran Covid-19 di dalam negeri berdampak pada pertumbuhan ekonomi domestik yang diprakirakan akan menurun. Ekspor 2020 diprakirakan menurun akibat melambatnya permintaan dunia, terganggunya rantai penawaran global, serta rendahnya harga komoditas global. Sementara itu, pembatasan sosial dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 berdampak pada pendapatan masyarakat dan penurunan produksi sehingga menurunkan prospek permintaan domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun investasi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat diprakirakan terutama terjadi pada Triwulan-II dan Triwulan III-2020 sejalan dengan prospek kontraksi ekonomi global dan juga dampak ekonomi dari upaya pencegahan peyebaran Covid-19.
Perekonomian nasional diprakirakan kembali membaik mulai Triwulan IV-2020 dan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 diprakirakan dapat menuju 2,3% dan akan meningkat lebih tinggi pada tahun 2021.
Selain dipengaruhi prospek perbaikan ekonomi global, pemulihan ekonomi nasional juga didorong berbagai kebijakan yang ditempuh Pemerintah, Bank Indonesia, dan otoritas terkait.
2. Defisit Transaksi Berjalan
Defisit transaksi berjalan diprakirakan akan rendah. Meskipun ekspor akan menurun sejalan dengan penurunan permintaan dan harga komoditas dunia, neraca perdagangan diprakirakan membaik dipengaruhi oleh penurunan impor yang lebih tinggi akibat menurunnya permintaan domestik dan berkurangnya kebutuhan input produksi untuk kegiatan ekspor. Defisit neraca jasa juga diprakirakan lebih rendah, didorong oleh penurunan devisa untuk biaya transportasi impor serta penurunan devisa pariwisata yang tidak setinggi yang diprakirakan. Defisit neraca pendapatan primer pun menurun sejalan dengan berkurangnya penurunan kepemilikan asing pada instrumen keuangan domestik.
Baca Juga : Presiden Jokowi Waspadai Dampak Lanjutan Covid-19 pada Perekonomian 2021
Secara keseluruhan, defisit transaksi berjalan di Triwulan I-2020 diperkirakan akan lebih rendah dari 1,5% PDB. Sementara itu, aliran modal asing diprakirakan akan berangsur-angsur kembali masuk ke Indonesia sejalan dengan meredanya kepanikan pasar keuangan global dan membaiknya ekonomi domestik. Secara keseluruhan prospek NPI 2020 yang tetap baik dapat memperkuat ketahanan sektor eksternal Indonesia.
3. Cadangan Devisa
Posisi cadangan devisa pada akhir Maret 2020 sebesar USD121,0 miliar, atau setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, dan diprakirakan akan meningkat pada akhir April 2020.
Bank Indonesia berpandangan posisi cadangan devisa tersebut lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah.
Follow Berita Okezone di Google News
4. Penguatan Rupiah
Nilai tukar Rupiah kembali menguat mulai minggu kedua April 2020 seiring meredanya kepanikan pasar keuangan global. Pada 13 April 2020, nilai tukar Rupiah menguat 4,35% secara point to point dibandingkan dengan level pada akhir Maret 2020.
Namun, Rupiah masih mencatat depresiasi sekitar 11,18% dibandingkan dengan level akhir 2019. Apresiasi Rupiah pada April 2020 didorong kembali meningkatnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik pasca ditempuhnya berbagai kebijakan di banyak negara untuk memitigasi dampak penyebaran Covid-19, termasuk Indonesia.
Perkembangan Rupiah yang kembali menguat juga didukung oleh berlanjutnya pasokan valas dari pelaku domestik sehingga dapat terus menopang stabilitas nilai tukar rupiah.
Bank Indonesia memandang bahwa level nilai tukar Rupiah dewasa ini memadai untuk mendukung penyesuaian perekonomian, yang secara fundamental tercatat “undervalued”, dan diprakirakan bergerak stabil dan cenderung menguat ke arah Rp15.000 per dolar AS di akhir tahun 2020.
Baca Juga : Presiden Jokowi: Pertumbuhan Ekonomi Terkoreksi Cukup Tajam
Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia akan terus meningkatkan intensitas intervensi di pasar DNDF, pasar spot, dan pembelian SBN dari pasar sekunder. Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar, Bank Indonesia terus mengoptimalkan operasi moneter guna memastikan bekerjanya mekanisme pasar dan ketersediaan likuiditas baik di pasar uang maupun pasar valas.
5. Inflasi
Inflasi tetap rendah dan mendukung stabilitas perekonomian. Inflasi IHK pada Maret 2020 tercatat 0,10% (mtm), lebih rendah dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 0,28% (mtm). Inflasi yang rendah dipengaruhi oleh melemahnya permintaan serta mencukupinya pasokan barang, termasuk pangan, dan tetap lancarnya rantai distribusi. Berdasarkan komponennya, inflasi yang rendah dipengaruhi inflasi inti yang terkendali serta perkembangan harga kelompok volatile food dan administered prices yang mencatat deflasi.
Inflasi inti, di luar harga emas, yang terkendali dipengaruhi konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi tetap terjaga serta pengaruh pelemahan nilai tukar terhadap inflasi yang rendah. Kenaikan harga emas terutama dipengaruhi kenaikan harga emas global sejalan peningkatan permintaan sebagai aset yang dianggap aman di periode ketidakpastian pasar keuangan global.
Sementara itu, deflasi kelompok volatile food terutama dipengaruhi oleh koreksi harga pada beberapa komoditas seperti aneka cabai, ikan segar, bawang putih, dan minyak goreng. Adapun, deflasi kelompok administered prices terutama didorong oleh berlanjutnya koreksi tarif angkutan udara. Dengan perkembangan tersebut, secara tahunan inflasi IHK Maret 2020 tercatat tetap terkendali sebesar 2,96% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan dengan inflasi Februari 2020 sebesar 2,98% (yoy).
Ke depan, Bank Indonesia terus konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk mengendalikan inflasi tetap rendah dan stabil dalam sasarannya sebesar 3,0%±1% pada 2020 dan 2021.
Baca Juga : Ada Stimulus RpRp405,1 Triliun, Pertumbuhan Ekonomi RI Bisa 4,5%
Transmisi pelonggaran kebijakan moneter tetap berjalan baik didukung kecukupan likuiditas perbankan yang memadai. Transmisi suku bunga ke pasar uang berjalan cukup baik, tercermin pada penurunan suku bunga PUAB O/N sebesar 150 bps menjadi 4,34% dan suku bunga JIBOR tenor 1 minggu sebesar 166 bps menjadi 4,58% sejak akhir Juni 2019, sebelum penurunan BI7DRR pada Juli 2019. Transmisi penurunan suku bunga perbankan juga berlanjut pada Februari 2020, baik suku bunga deposito maupun suku bunga kredit. Dengan perkembangan ini maka rerata tertimbang suku bunga deposito sejak akhir Juni 2019 sampai Februari 2020 turun 67 bps menjadi 6,16% sementara suku bunga Kredit Modal Kerja turun 35 bps menjadi 10,07%.
6. Stabilias Sistem Keuangan
Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun potensi risiko dari makin meluasnya dampak penyebaran virus Covid-19 terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan perlu terus diantisipasi. Stabilitas sistem keuangan terjaga tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Februari 2020 yang tinggi yakni 22,27%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang tetap rendah yakni 2,79% (gross) dan 1,04% (net). Melemahnya perekonomian domestik dan meningkatnya ketidakpastian ekonomi sebagai dampak penyebaran Covid-19, menyebabkan lemahnya permintaan kredit dan meningkatnya kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit.
Baca Juga : Peluang Bisnis di Tengah Wabah Covid-19
Ke depan, kebijakan makroprudensial Bank Indonesia akan difokuskan pada upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dengan mengantisipasi potensi peningkatan risiko pada sektor keuangan yang terpengaruh dampak penyebaran Covid-19. Koordinasi dengan otoritas keuangan dan kementerian/lembaga terkait juga senantiasa ditingkatkan, baik dalam rangka perumusan bauran kebijakan, maupun dalam rangka mitigasi peningkatan risiko di sistem keuangan.
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Follow