Meski emansipasi terus digalakkan, namun hingga saat ini perempuan benar-benar belum bisa merasakan kesetaraan gender. Karena beberapa pihak masih menganggap perempuan sebagai sosok yang lemah serta berhak untuk diatur-atur.
Seperti di masa pandemi Covid-19 misalnya. Pernikahan anak perempuan di bawah umur meningkat. Ini terbukti bahwa sebagian pihak masih menganggap perempuan sebagai beban bagi orangtuanya.
"Pandemi Covid-19 membuat perkawinan anak perempuan tinggi banget. Karena mereka masih menganggap anak perempuan itu beban," ujar Tety Sianipar, seorang mantan programmer dalam webinar Pecha Kucha Night Jakarta Vol. 43 - Because She Cares, Jumat (23/4/2021).
Dengan demikian, lanjut Tety, anak perempuan yang sudah dinikahkan berarti mengurangi beban orangtua. Karena mereka sudah menjadi tanggung jawab suaminya.
Selain itu, masih ada parameter yang menganggap bahwa kesuksesan perempuan diukur berdasarkan jumlah anak yang mereka miliki, dengan siapa dia menikah. Serta, perempuan yang di rumah saja dianggap lebih mulia dibanding dengan mereka yang berkarir.
Karenanya, ia mengajak para perempuan untuk sama-sama membuktikan bahwa perempuan juga bisa berprestasi, berkarir, menentukan pilihan hidup sebagaimana yang dilakukan pihak laki-laki.
"Kunci untuk menghadapi konstruksi sosial ini adalah dengan melakukan apa yang Anda suka. Yang penting, buktikan ke diri sendiri kalau Anda bisa berkembang. Jangan buktikan ke orang lain dahulu. Karena kalau diri sendiri sudah mengakui kemampuan Anda, otomatis orang lain juga akan melihatnya," ujarnya.
Follow Berita Okezone di Google News